Oleh: Vera Friska (Mahasiswa Program Studi Ekonomi dan Akuntansi, Universitas Bangka Belitung)
Ketika berbicara tentang Bangka Belitung, yang terlintas di benak banyak orang mungkin adalah timah. Selama bertahun-tahun, logam ini menjadi tulang punggung ekonomi daerah. Namun, kenyataan pahit kini harus dihadapi: masa kejayaan timah telah menurun drastis.
Krisis yang melanda sektor pertambangan bukan hanya membuat angka-angka statistik ekonomi anjlok, tetapi juga mengguncang kehidupan masyarakat yang selama ini menggantungkan harapan pada tambang.
Saya merasa inilah saatnya kita, sebagai masyarakat Bangka Belitung, mulai berpikir ulang: apakah kita akan terus bergantung pada sektor yang kian rapuh, atau sudah saatnya beralih pada peluang baru yang lebih menjanjikan dan berkelanjutan? Di sinilah saya melihat kelapa sawit sebagai secercah harapan.
Bahkan secara pribadi, saya memiliki kebun sawit warisan keluarga, dan saya dapat merasakan langsung bagaimana komoditas ini memberikan penghasilan yang cukup stabil bagi kami, terutama ketika harga timah tidak menentu.
Pengalaman ini membuat saya semakin yakin bahwa kelapa sawit bukan sekadar alternatif, tetapi benar-benar dapat menjadi fondasi ekonomi yang lebih kuat jika dikelola dengan bijak dan bertanggung jawab. Mengapa Sawit? Sebagian mungkin skeptis saat mendengar kelapa sawit disebut sebagai “harapan baru”.
Sawit sering dikaitkan dengan isu lingkungan, deforestasi, bahkan konflik agraria. Namun, jika kita menilik data yang ada, pertumbuhan sektor kelapa sawit di Bangka Belitung tidak dapat dipandang sebelah mata.
Dalam lima tahun terakhir, produksi sawit meningkat rata-rata 5 persen per tahun. Luas lahan juga bertambah signifikan. Bukan hanya itu, sektor ini terbukti mampu menyerap tenaga kerja dan memberikan penghasilan yang relatif stabil, khususnya di wilayah pedesaan dan membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat lokal.
Sebagai mahasiswa ekonomi, saya melihat bahwa sawit bukan sekadar komoditas – ia bisa menjadi fondasi baru untuk diversifikasi ekonomi daerah. Ketika sektor timah goyah, sawit justru memperlihatkan ketangguhan dan ketahanan yang patut dipertimbangkan sebagai penyangga perekonomian lokal.
Tantangan Tak Bisa DiabaikanTentu saja, saya tidak menutup mata terhadap tantangan yang dihadapi sektor ini. Harga CPO yang fluktuatif di pasar global, keterbatasan infrastruktur, hingga isu lingkungan adalah hal yang nyata. Namun, tantangan bukan alasan untuk menyerah.
Justru di sinilah peran pemerintah, akademisi, dan pelaku usaha sangat krusial: bagaimana menjadikan pengembangan sawit tidak hanya menguntungkan secara ekonomi, tetapi juga berkelanjutan secara sosial dan ekologis.
Program seperti Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) merupakan langkah awal yang menjanjikan. Akan tetapi, keberhasilannya bergantung pada pelaksanaan yang konsisten, transparan, dan melibatkan masyarakat secara aktif.
Waktunya Membuka Lembaran BaruKetergantungan yang terlalu lama pada timah membuat struktur ekonomi Bangka Belitung rentan terhadap krisis. Kita perlu keluar dari lingkaran ini dengan membuka lembaran baru. Kelapa sawit, dengan segala potensinya, memberikan opsi konkret untuk itu. Bukan berarti meninggalkan timah sepenuhnya, tetapi mengurangi dominasi satu sektor dan memberi ruang tumbuh bagi sektor lain yang lebih inklusif.
Saya percaya, jika dikelola dengan bijak, sawit dapat menjadi motor pertumbuhan ekonomi yang kuat dan stabil. Kita butuh keberanian, strategi yang matang, dan tentu saja kemauan politik untuk melakukan transformasi ekonomi ini.
Karena pada akhirnya, Bangka Belitung adalah milik kita semua. Dan masa depan daerah ini tidak seharusnya ditentukan oleh satu komoditas saja. Namun untuk mewujudkan hal tersebut, diperlukan komitmen jangka panjang dalam membangun ekosistem industri sawit yang adil dan ramah lingkungan. Pendidikan dan pelatihan bagi petani, akses terhadap teknologi, serta perlindungan terhadap lahan dan hutan harus menjadi prioritas.
Dengan pendekatan yang menyeluruh dan berorientasi pada keberlanjutan, Bangka Belitung dapat membuktikan bahwa masa depan ekonomi daerah tidak hanya bisa bertumpu pada satu komoditas, tetapi pada kekuatan kolaborasi dan inovasi, yang bertumpu pada pendidikan, perlindungan lingkungan, dan keberpihakan kepada petani lokal sebagai penggerak utama perubahan.