“Perpisahan Sekolah: Tradisi Bernilai atau Beban Sosial?”

by
Foto : Seti (Mahasiswi Akuntansi Universitas Bangka Belitung)

Oleh : Seti (Mahasiswi Jurusan Akuntansi, Universitas Bangka Belitung)

Belakangan ini, isu perpisahan sekolah menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat, terutama setelah pernyataan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, yang mengkritik pelaksanaan acara wisuda dan perpisahan siswa yang dinilai berlebihan. Ia bahkan sempat terlibat debat dengan salah satu siswa yang menyuarakan pembelaannya terhadap tradisi tersebut.

Fenomena ini mencuatkan kembali pertanyaan yang sudah lama terpendam: apakah perpisahan sekolah masih menjadi tradisi bernilai, atau justru telah menjelma menjadi beban sosial bagi banyak keluarga?

Perpisahan sekolah sejatinya merupakan momen penting dalam dunia pendidikan. Ia menjadi simbol penutupan sebuah babak dan pembuka untuk fase kehidupan yang baru. Di dalamnya terdapat rasa syukur, keharuan, dan penghormatan terhadap proses belajar yang telah dilalui bersama teman dan guru. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, makna sakral itu mulai terkikis oleh tren glamor dan budaya konsumtif.

Alih-alih sederhana dan penuh makna, acara perpisahan kini kerap identik dengan sewa gedung mewah, pakaian pesta, riasan profesional, bahkan jasa fotografer dan videografer khusus. Tak jarang, biaya yang harus dikeluarkan orang tua mencapai ratusan ribu hingga jutaan rupiah hanya untuk satu hari perayaan. Padahal, tidak semua keluarga mampu menanggung beban tersebut. Hal ini menciptakan kesenjangan sosial dan tekanan psikologis, terutama bagi siswa dari keluarga kurang mampu yang merasa terpaksa ikut agar tidak terkucilkan.

Merespons hal ini, beberapa pemerintah daerah seperti Kota Bandung, Kabupaten Sleman, dan Kota Tangerang Selatan mulai mengeluarkan imbauan atau larangan terkait perayaan perpisahan dan wisuda yang dilaksanakan secara mewah, apalagi jika melibatkan pungutan biaya tinggi. Langkah ini menuai pro dan kontra. Sebagian siswa dan orang tua merasa kebebasan mereka dirampas, sementara yang lain menyambut positif karena merasa terbantu secara finansial.

Sebenarnya, kebijakan pembatasan atau pelarangan ini tidak dimaksudkan untuk mematikan kreativitas atau kebebasan berekspresi. Justru sebaliknya, ini adalah bentuk tanggung jawab moral dan sosial pemerintah untuk menjaga agar kegiatan pendidikan tetap berada dalam koridornya: mendidik dengan nilai, bukan dengan gengsi. Perpisahan sekolah tetap bisa dilaksanakan, namun dengan cara yang lebih inklusif, hemat biaya, dan berorientasi pada makna.

Sekolah dan komite orang tua memiliki peran strategis dalam menyusun konsep perpisahan yang mendidik. Kegiatan seperti pentas seni siswa, pemberian penghargaan sederhana, doa bersama, atau karya bakti lingkungan bisa menjadi alternatif bermakna. Selain hemat biaya, kegiatan semacam ini justru lebih mendalam dan mendidik, karena mengajarkan nilai kebersamaan, tanggung jawab sosial, dan kreativitas.

Di tengah sorotan terhadap tradisi perpisahan ini, kita perlu kembali pada pertanyaan dasarnya: apa tujuan dari perpisahan sekolah? Jika jawabannya adalah merayakan kebersamaan, menghargai perjuangan, dan menutup perjalanan dengan kenangan positif, maka bentuk acaranya tidak harus mahal dan mewah. Yang dibutuhkan adalah ketulusan dan nilai, bukan penampilan dan gengsi.

Saatnya kita, sebagai masyarakat, lebih bijak dalam menyikapi tradisi ini. Jangan sampai niat baik berubah menjadi beban. Jadikan perpisahan sekolah sebagai momentum refleksi, bukan sekadar ajang eksistensi. Karena sejatinya, yang akan diingat dari sekolah bukan seberapa mahal gaunnya, tetapi seberapa dalam nilai yang tertanam selama proses belajar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

No More Posts Available.

No more pages to load.