Oleh : Nawrah Azzura Hidayat, Mahasiswi Program Studi S1 Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Bangka Belitung.
Bangka Belitung, yang dahulu dikenal sebagai “negeri serumpun sebalai” dengan laut biru dan hutan hijau yang meneduhkan, kini kian kehilangan wajah alaminya. Di balik gemerlapnya nama “timah” yang mengharumkan daerah ini sejak masa kolonial, tersimpan luka mendalam yang dirasakan oleh alam dan masyarakat.
Laut dan hutan seakan menjerit, meminta keadilan atas eksploitasi yang tak kunjung henti.Pertambangan timah, baik yang legal maupun ilegal, telah mengubah bentang alam Bangka Belitung secara drastis. Di daratan, hutan-hutan yang dulu menjadi rumah bagi beragam flora dan fauna kini berubah menjadi lubang-lubang bekas galian.
Tanah gersang dan genangan air keruh menjadi pemandangan yang biasa. Sementara itu, di laut, aktivitas tambang timah apung menyebabkan kerusakan ekosistem terumbu karang dan menurunnya populasi ikan yang menjadi sumber penghidupan nelayan. Laut yang dulu menenangkan kini menjadi saksi bisu kehancuran.
Ironisnya, kekayaan alam yang melimpah justru belum sepenuhnya membawa kesejahteraan bagi masyarakat setempat. Banyak warga yang terpaksa menjadi penambang tradisional demi bertahan hidup, meskipun sadar akan bahaya dan dampak lingkungan yang ditimbulkan.
Di sisi lain, sebagian keuntungan besar justru mengalir ke tangan segelintir pihak yang memiliki modal dan kekuasaan. Keadilan ekologis dan sosial terasa semakin jauh dari jangkauan.
Pemerintah daerah dan pusat sebenarnya telah memiliki berbagai regulasi untuk mengatur aktivitas pertambangan, namun lemahnya pengawasan serta praktik tambang ilegal membuat kebijakan tersebut tidak berjalan efektif. Pemulihan lingkungan pascatambang sering kali hanya menjadi janji tanpa realisasi nyata.
Padahal, jika dikelola dengan bijak, kekayaan alam Bangka Belitung dapat menjadi modal untuk pembangunan berkelanjutan yang ramah lingkungan.Sudah saatnya pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat bersatu mengubah paradigma pembangunan dari “menambang sebanyak-banyaknya” menjadi “menyelamatkan yang tersisa”.
Rehabilitasi lahan bekas tambang, penguatan ekonomi alternatif seperti pariwisata dan perikanan berkelanjutan, serta penegakan hukum yang tegas terhadap tambang ilegal harus menjadi prioritas utama.
Laut dan hutan Bangka Belitung bukan sekadar sumber daya ekonomi, tetapi juga warisan kehidupan yang harus dijaga untuk generasi mendatang. Jika jeritan alam terus diabaikan, maka kelak yang tersisa hanyalah kenangan tentang sebuah pulau yang pernah hijau dan kaya.
Sumber: https://m.kumparan.com/amp/kumparanbisnis/simalakama-kilau-timah-di-laut-bangka-1540612093580465875








