Lahan Pisang, Sawit Ilegal dan Tambang Gelap : Cermin Buram Penegakan Hukum di Bangka Belitung

by
Foto : Friska Adelia Supendi (Mahasiswa Prodi Manajemen, Universitas Bangka Belitung)

Oleh : Friska Adelia Supendi (Mahasiswa Prodi Manajemen, Universitas Bangka Belitung)

Akhir April 2025, menjadi babak baru yang menyakitkan bagi Bangka Belitung. Pengadilan Negeri Pangkal Pinang membebaskan lima terdakwa dalam kasus penyalagunaan lahan seluas 1.500 hektare yang awalnya di peruntukkan bagi pertanian pisang, namun berubah menjadi kebun sawit ilegal dan lokasi penambangan timah tanpa izin ( PETI ). Kerugian negara di taksir mencapai Rp18 miliar. Namun, dalam putusan mengejutkan, hakim menyatakan bukti jaksa tidak cukup kuat.  

Bagimana mungkin sebuah lahan seluas 1.500 hektare yang berubah menjadi kebun sawit  dan lokasi tambang ilegal, bisa dilihat dengan jelas dari udara, justru di anggap bukan bukti yang cukup ? Apakah hukum di negeri ini sudah kehilangan nyawanya? Apakah pengadilan sudah berubah menjadi panggung sandiwara, di mana keadilan dikerdilkan oleh permainan uang dan kekuasaan? Pertanyaan-pertanyaan ini menggema di benak publik setelah putusan mengejutkan Pengadilan Negeri Pangkal Pinang pada akhir April 2025 yang membebaskan lima terdakwa dalam kasus penyalagunaan lahan yang merugikan negara hingga Rp18 miliar.

Perkara bermula dari dugaan korupsi dalam fungsi lahan pisang menjadi sawit di kawasan hutan produksi Sigambir, Kota Waringin, Kabupaten Bangka. Namun sejak 2022, warga Desa Labu Air Pandan mulai menyaksikan perubahan drastis bukannya lahan pisang, tapi lahan seluas 1.500 hektare itu justru berubah menjadi kebun sawit ilegal dan lokasi penambangan timah tanpa izin (PETI). Laporan investigasi Kompas.com (30 April 2025) mengungkap bahwa  hutan dan semak belukar telah hilang berganti galian tambang dan perkebunan sawit, yang beroperasi terbuka tanpa ada tindakan tegas dari aparat penegak hukum selama lebih dari dua tahun. Keputusan Majelis Hakim Pangkal Pinang yang membabaskan lima terdakwa kasus pemanfaatan lahan hutan ini. Berikut kelima terdakwa adalah Marwan (Mantan Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup) Bangka Belitung , Markam (Kepala Bidang Tata Kelola), Bambang Wijaya (Kepala seksi pengembangan), Ari Setioko (Pengusaha Swasta) selaku Direktur PT Nirina Keisa Imani (NKI). Empat terdakwa dinyatakan tidak terbukti melakukan tindakan pidana sebagimana di dakwakan, sementara Ari Setioko perbuataannya terbukti, namun tidak tergolong tindakan pidana menurut majelis hakim. 

Jaksa menunding proses kerja sama pemanfaatan lahan di lakukan tanpa prosedur yang sah, termasuk tanpa rekomendasi Tim Koordinasi Kerja Sama Daerah (TKKSD), serta adanya dugaan permintaan pembagian lahan oleh pejabat tinggi daerah. Sehingga membuat sorotan publik setelah Pengadilan Negeri memutuskan hasilnya yang dimana keputusan ini menambah daftar panjang kontroversi penegakan hukum di sektor publik.

Laporan Audit Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Badan Pemeriksa Keuangan Daerah (BPKD) menyebut kerugian negara akibat kasus ini mencapai Rp18 Miliar, berasal dari hilangnya potensi pendapatan negara melalui retribusi dan pajak, serta penguasaan ilegal aset negara. Selain kerugian finansial, terjadi perubahan penutupan lahan secara pasif yaitu, Devegetasi dari belukar menjadi badan air dan tanah terbuka seluas 221,28 hektare serta Deforestasi 371,68 hektare dalam kurun waktu 2018 sampai 2024. 

Dampak lingkungan ini memperburuk kondisi ekositem dan mengancam keberlanjutan sumber daya alam setempat. Secara sosial, masyarakat yang awalnya berharap proyek pertanian pisang ini akan membawa kemakmuran kini justru kehilangan alses terhadap lahan dan air bersih yang sangat vital.

Di tengah fakta- fakta jelas tersebut, ironisnya hakim justru menyatakan bukti jaksa tidak cukup kuat untuk membuktikan keterlibatan langsung para terdakwa dalam penyalahgunaan lahan. Penegakan hukum yang tumpul seperti pisau tumpul di tangan tukang masak ini hanya melukai harapan rakyat tanpa mampu menoreh keadilan. Mereka yang punya uang dan koneksi seolah berjalan diatas hukum, sementara rakyar kecil terus tercekik oleh ketidakadilan. 

Menurut pasal 69 Undang -Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup,setiap orang yang melakukan perusakan lingkungan hidup dapat di pidana dengan ancaman penjara hingga 10 tahun dan denda maksimal Rp10 miliar. 

Selain itu, Pasal 33 ayat (3) Undang -Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) mengatur bhawa kegiatan pertambangan tanpa izin resmi merupakan tindak pidana yang dapat di pidana penjara dan denda. Namun, dalam kasus ini hukum yang sudah tegas itu tampak menguap.

Dalam hukum lingkungan dan tindak pidana korporasi, sudah di atur Asas Strict Liability (tanggung jawab mutlak) dan tanggung jawab pidana korporasi (pasal 74 UU NO.32 Tahun 2009 dan pasal 74 UU Minerba) yang memungkinkan penyelengaraan izin di kenai sanksi atas dampak aktivitas ilegal meskipun dilakukan oleh pihak ketiga. Namun, pendekatan progresif ini tampaknya tidak diimplementasikan dalm proses persidangan kasus ini. Putusan bebas ini bukan hanya kegagalan aparat hukum, tpi pengkhianatan terhadap kegiatan keadilan dan masa depan anak cucu.

Vonis bebas terhadap para terdakwa, meski jaksa menuntut hukuman berat hingga 16 tahun penjara, menjadi ironis sekaligus sindiran keras terhadap lemahnya penegakan hukum. Kasus ini memperlihatkan bagaimana sistem hukum gagal memberikan keadilan dan perlingungan terhadap kepentingan publik serta lingkungan. Ketidakmampuan lembaga penegak hukum mengawal kasus – kasus besar seperti menambah ketidak percayaan masyarakt terhadap supremasi hukum di indonesia.

Putusan bebas dalam kasus lahan 1.500 hektare menjadi preseden buruk yang dapat mendorong praktik serupa di masa mendatang. Ketika pelanggaran hukum tidak di ikuti sanksi tegas, potensi korupsi semakin terbuka lebar. Kasus ini juga menyoroti adanya dugaan suap dalam proses perizinan, yang mempekuat persepsi publik akan maraknya praktik korupsi dan kolusi dalam tata kelola lahan di indonesia. 

Publik menuntut adanya reformasi yang adil, trasparan, dan berpihak pada masyarakt serta lingkungan. Kasus ini memperlihatkan pentingnya pengawasan ketat, transparansi dalam proses perizinan, serta perlindungan hak-hak masyarakt lokal. Kegagalan pemerintah dan aparat pengak hukum dalam menyelesaikan kasus ini secara tuntas hanya akan memperburuk konflik dan memperlebar jurang ketidak adilan sosial.

Kasus penyalahgunaan lahan 1.500 hektare di Bangka menjadi cermin buram supremasi hukum. Tanpa penegakan hukum yang konsisten, transparan, dan berpihak pada keadilan , tata kelola lahan akan terus menjadi ladang subur bagi korupsi dan kerusakan lingkungan. Supremasi hukum harus ditegakkan agar keadilan benar benar terwujud dan kepentingan rakyat serta lingkungan tidak lagi di korbankan demi kepentingan segelintir pihak.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

No More Posts Available.

No more pages to load.