Dosen UBB : Hak Korban Dalam Kasus Kekerasan Seksual di Bangka Selatan Penting Untuk Dipenuhi

by
Dosen Universitas Bangka Belitung, Luna Febriani

Pangkalpinang, Demokrasibabel.com – Kasus kekerasan seksual di salah satu lembaga pendidikan berbasis keagamaan di Kecamatan Payung, Kabupaten Bangka Selatan, mulai terkuak setelah penangkapan pelakunya.

Menanggapi hal ini, Luna Febriani M.A., Dosen Muda Sosiologi Universitas Bangka Belitung (UBB), menyatakan keprihatinannya.

Menurutnya, pelaku yang merupakan pimpinan pondok pesantren tersebut, melancarkan kekerasan seksual kepada santrinya dengan modus mengiming-imingi barang material seperti uang dan telepon genggam.

“Mengingat korban dalam kasus ini tidak sedikit, pelaku diancam hukuman selama kurang lebih 20 tahun,” ungkap Luna pada Selasa (27/5/2025).

Luna mengapresiasi gerak cepat pihak berwenang dalam mengungkap dan menangani kasus ini. Namun, ia menekankan agar penanganan tidak berhenti di sini. Masyarakat dan media harus terus mengawal kasus ini demi terwujudnya keadilan, terutama bagi para korban.

“Perlu kita ketahui, menangani dan mengurai kasus kekerasan seksual ini tidak cukup hanya sekadar menangkap pelaku. Lebih dari itu, ada hal penting lainnya juga yang perlu diperhatikan terutama berkaitan dengan korbannya, yakni pemenuhan hak korban, keluarga korban dan saksi,” jelas Luna.

Ia menjelaskan bahwa Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual Nomor 12 Tahun 2022 menyebutkan bahwa korban berhak atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan sejak terjadinya Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Dalam hal penanganan, hak korban meliputi layanan hukum, penguatan psikologis, serta pelayanan kesehatan seperti pemeriksaan, tindakan, dan perawatan medis. Untuk perlindungan, hak korban berupa perlindungan dari ancaman atau kekerasan pelaku dan pihak lain, serta perlindungan dari kehilangan pekerjaan, mutasi pekerjaan, pendidikan, atau akses politik.

Sementara itu, pemulihan meliputi hak atas rehabilitasi medis, rehabilitasi mental dan sosial, pemberdayaan sosial, restitusi dan/atau kompensasi, serta reintegrasi sosial.

“Hak-hak korban tersebut penting diperhatikan, mengingat para korban berasal dari kelompok anak-anak yang masih memiliki masa depan yang panjang. Rehabilitasi medis dan psikologis diharapkan dapat direalisasikan untuk mengurangi dan mengantisipasi masalah-masalah yang akan muncul terkait kesehatan fisik dan psikis para korban. Karena korban kekerasan seksual terutama anak-anak rentan mengalami hal ini, terutama persoalan psikis,” tukasnya.

Dalam kasus kekerasan seksual, persoalan psikis dapat menyebabkan dampak serius bagi korban, di antaranya pengasingan diri dari lingkungan sosial, trauma, mengulangi perbuatan yang dialami, hingga risiko bunuh diri.

“Tentunya hal-hal ini perlu diminimalisir, maka realisasi atas hak pemulihan seperti rehabilitasi medis, mental, dan sosial juga harus diwujudkan,” pungkasnya.

“Selain itu, karena mereka juga masih dalam usia menempuh pendidikan, maka hak atas pendidikan mereka juga harus dijamin. Harapannya, setelah kasus ini terjadi mereka dapat terus melanjutkan dan mendapatkan pendidikan yang aman. Karena, jika para korban ini putus sekolah, ini bukan saja berdampak pada kehidupan dan masa depan pribadi korban, namun juga berdampak pada masa depan daerah dan bangsa,” sambungnya.

Oleh karena itu, gerak cepat pihak berwenang dalam menangani kasus kekerasan seksual ini sangat dibutuhkan. Pemberian hak korban atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan ini dapat menjamin korban memperoleh keadilan.

“Sinergi lintas sektor dan lembaga seperti keamanan dan perlindungan, pendidikan, kesehatan, keagamaan, hingga media dapat dilakukan dalam membantu menangani, melindungi, dan memulihkan korban serta mengawal kasus ini,” terangnya. (EraNews/Lew)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

No More Posts Available.

No more pages to load.