Oleh : Azira Diva Bastari (Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Universitas Bangka Belitung)
Coba kita sebagai planner bayangin kalau udah cape-cape bikin rencana untuk suatu kawasan, bikin layout peta yang keren tapi waktu presentasi ke masyarakat, mereka cuma bengong liatin kita presentasi dan kemungkinan terburuknya mereka salah paham lalu berujung demo. Masalah itu bukan karena ide kita, tapi cara kita menyampaikan ide kita. Itulah alasan kenapa Bahasa Indonesia itu penting buat kita para mahasiswa perencanaan wilayah dan kota yang bakal jadi planner muda.
Terkadang kita mahasiswa PWK pasti berfikir kalau Bahasa Indonesia itu mata kuliah yang kurang penting di prodi kita yang fokusnya di analisis kawasan, peta, dan lain-lain. Namun faktanya, Bahasa Indonesia merupakan jembatan penghubung isi kepala kita dengan masyarakat atau stake holder terkait. Kita sebagai planner bisa punya ide yang keren, tapi jika kita tidak bisa menjelaskan ide kita menggunakan bahasa yang mudah di mengerti, ide kita itu tidak ada artinya.
Perencanaan wilayah dan kota itu bukan prodi tukang gambar peta. Kita dituntut untuk interaksi dengan masyarakat, stakeholder, orang-orang penting, dan yang paling penting kita harus buat mereka paham sama apa yang kita rencanakan. Bahasa juga soal rasa. Saat kita turun ke lapangan untuk wawancara ke masyarakat, kita harus bisa memilih bahasa yang sopan tapi tidak kaku, ramah tapi tidak merendahkan. Bahasa itu bisa menjadi alat kolaborasi, atau malah jadi tembok pemisah.
Jadi, kalau kita mahasiswa PWK dan masih berfikir kalau Bahasa Indonesia itu cuma soal “bahasa baku, cara menulis proposal, dll”, artinya kita belum paham tantangan sesungguhnya. Merencanakan sebuah kota itu rumit, namun manusia di dalamnya lebih rumit lagi. Dan satu-satunya cara buat menyatukan semua itu adalah bahasa.