Pangkalpinang, Demokrasibabel.com – Panitia Khusus (Pansus) izin hutan rakyat DPRD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung menerima audiensi Gerakan Mahasiswa Peduli Hutan Rakyat (GMPHR) Bangka Belitung yang mempertanyakan kejelasan kepemilikan tanah di Desa Labuh Air Pandan, Kecamatan Mendo Barat, Kabupaten Bangka.
“Disini kita hanya audiensi saja, belum ada putusan apapun, karena kita hanya mendengar masukan dan aspirasi yang disampaikan adik-adik mahasiswa,” kata Ketua Pansus Izin Hutan Rakyat DPRD Babel, Adet Mastur di Pangkalpinang, Senin.
Adet mengatakan, ada empat perusahaan yang menggunakan kawasan hutan yang menjalin kerjasama kemitraan dengan Pemprov Babel, salah satunya PT Narina Keisha Imani (NKI). Dulunya kewenangan ada di Pemprov Babel, namun sejak Undang-undmag cipta kerja berlaku, kewenangan hutan ada di pemerintah pusat.
Oleh karena itu, adanya kemitraan antara PT NKI dengan Pemprov Babel dan adanya pembagian fee yang tidak diketahui diserahkan kemana, maka DPRD Babel akan menindaklanjutinya.
“Kita tidak tau fee itu diserahkan ke siapa dan ini akan kita pelajari karena izin yang dikeluarkan itu menyangkut masalah hutan, jika terjadi jual beli kawasan hutan maka ini masuk pidana, ini akan kita kaji bersama,” ujarnya.
Koordinator GMPHR, Aldy Kurniawan mengatakan, audiensi ini hasil tindaklanjut kami yang mendengar keluhan masyarakat di desa Labuh Air Pandan, dimana mereka memiliki sertifikat Hak milik (SHM) yang dikeluarkan BPN, namun kenyataannya lahan yang mereka miliki dimanfaatkan oleh PT Narina Keisha Imani (NKI).
Adanya pemanfaatan hutan tanpa sosialiasi dan tanpa sepengetahuan masyarakat antara Pemprov Babel dengan PT. Narina Keisha Imani (NKI), salah satu perusahaan yang bergerak di bidang agrobisnis asal Bangka Belitung ini menimbulkan keresahan bagi masyarakat.
“Ada kejanggalan yang muncul ketika status kawasan hutan berbeda dari berbagai belah pihak. Menurut Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH), kawasan tersebut berstatus Areal Penggunaan Lain (APL) sedangkan Dinas Kehutanan sendiri menyebut kawasan tersebut berstatus Hutan Produksi (HP),” kata Aldy.
Oleh karena itu, masyarakat sepakat untuk menolak keras keberadaan perusahaan tersebut dengan alasan sama sekali tidak memberikan kontribusi dan manfaat bagi masyarakat setempat, bahkan bertolak belakang dengan kearifan lokal Desa Labuh Air Pandan.
“Dalam perjanjian ini kami melihat ada perampokan hak-hak masyarakat di desa Labuh Air Pandan. Kami peduli akan hak masyarakat dan kami hadir untuk membawa aspirasi dan gerakan dari masyarakat,” ujarnya.
Aldy berharap Pansus DPRD Babel dapat membantu masyarakat agar hak-hak masyarakat kembali seperti semula, karena kami yakin DPRD Babel dapat menjadi wasit dalam menangani permasalahan ini.
“Kami harap DPRD Babel dapat membantu masyarakat mendapatkan haknya. Dan kami akan mengawal permasalahan ini hingga tuntas dan masyarakat mendapat kembali haknya,” tutup Aldy.(Ade)