Oleh : Nadila Zahara, Mahasiswi Program Studi S1 Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Bangka Belitung.
Bangka Belitung merupakan wilayah yang dikenal sebagai penghasil timah terbesar di Indonesia dan salah satu yang utama di dunia. Sejak masa kolonial, kekayaan alam ini menjadi komoditas strategis yang menopang industri global. Namun, paradoks terjadi: kekayaan timah tidak otomatis menjadikan masyarakat lokal sejahtera. Jurang ketimpangan ekonomi justru semakin melebar.
Di satu sisi, pengusaha besar dan jaringan pemodal kian makmur; di sisi lain, masyarakat pribumi Bangka harus berhadapan dengan kemiskinan struktural dan kerusakan lingkungan yang semakin parah. Ekonomi Bangka Belitung sangat tergantung pada sektor pertambangan. Sejak masa VOC, kolonial Inggris, hingga perusahaan BUMN dan swasta masa kini, eksploitasi berjalan terus-menerus.
Ketergantungan ekonomi pada pertambangan menjadikan diversifikasi ekonomi sangat rendah, lapangan kerja alternatif minim, sehingga pola ekonomi ekstraktif mengakar kuat. Dengan demikian, kendali hajat hidup masyarakat sering berada pada aktor luar yang memegang modal dan izin.
Secara teoritis, daerah kaya sumber daya semestinya menunjukkan tingkat kesejahteraan tinggi. Namun fenomena yang terjadi di Bangka Belitung menguatkan konsep “resource curse” (kutukan sumber daya). Kehadiran industri tambang tidak menghapus kemiskinan lokal, tetapi justru mereproduksi ketimpangan distribusi pendapatan, akses ekonomi yang timpang antara elite dan masyarakat, kerentanan sosial yang meningkat.
Pekerja tambang rakyat (TI) hanya memperoleh penghasilan yang tidak stabil, tanpa jaminan keselamatan dan perlindungan sosial. Sementara keuntungan besar mengalir ke perusahaan, pemilik modal, dan jaringan perdagangan timah. Kerusakan lingkungan juga menjadi kerugian masyarakat, membentuk ribuan cekungan air berbahaya, merusak tata ruang dan nilai tanah, merusak kualitas air dan kesuburan tanah, serta ancaman keselamatan kemungkinan terjadinya longsor dan memakan korban terutama para pekerja.
Kerugian ekologis ini tidak dapat dipulihkan dalam waktu singkat, bahkan berpotensi menjadi beban generasi mendatang. Dari beberapa hal tersebut, tambang justru menciptakan banyak masalah, pola kerja survival tanpa perlindungan formal, konflik lahan antara masyarakat vs Perusahaan, hilangnya lahan pertanian dan perikananm juga meningkatnya angka putus sekolah karena anak bekerja ikut menambang.
Kondisi ini menyiratkan bahwa pembangunan ekonomi tidak berpihak kepada masyarakat adat dan pribumi Bangka. Salah satu persoalan fundamental adalah ketidakmerataan akses ekonomi. Pemilik izin tambang mayoritas bukan masyarakat lokal. Masyarakat hanya menjadi “penonton” atas kekayaan tanahnya.
Transparansi tata kelola, penegakan hukum, dan akuntabilitas pendapatan negara masih menjadi pekerjaan rumah besar. Upaya perubahan harus terlaksana melalui kebijakan yang tegas dan komprehensif: Pembangunan ekonomi alternatif (pariwisata, perikanan, UMKM), teknologi tambang ramah lingkungan & reklamasi yang serius, penguatan kapasitas & peran masyarakat lokal dalam rantai nilai timah, serta tata kelola industri yang transparan dan berpihak pada rakyat.
Pembangunan tidak boleh lagi terjebak pada ekonomi ekstraktif yang rapuh, melainkan menuju pertumbuhan inklusif dan berkelanjutan.Bangka Belitung hari ini menanggung beban berat dari eksploitasi yang panjang. Di atas tanah yang kaya timah, masyarakat pribumi justru terjerembap dalam ketidakpastian ekonomi dan kerusakan lingkungan.
Bangka Belitung sedang menjerit, namun suara itu sering tidak terdengar oleh mereka yang menikmati hasil kekayaannya.. Keadilan harus menjadi arah perubahan .Kemakmuran tidak boleh hanya milik mereka yang berkuasa.Sebab pada akhirnya, kekayaan alam sejatinya adalah hak kesejahteraan rakyat.
Jika kekayaan timah begitu besar, mengapa rakyat Bangka tidak ikut kaya?
Sumber:
IDNFinancials.com https://share.google/qtCVj2UPY2fXk4DWz
Suryani, L. (2023). “Kolong Tambang dan Masalah Sosial.” Jurnal Sosial & Lingkungan.
Atmadja, C. dkk. (2020). Pertambangan Timah dan Dampak Lingkungan di Bangka Belitung. Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam.







