SUNGAILIAT, DEMOKRASIBABEL.COM – Walaupun situasi masih merebaknya pandemi covid-19, Kelenteng Bhakti Sejahtera, Kampung Hakok, Kelurahan Matras Sungailiat, Kabupaten Bangka tetap menggelar altar sembahyang rebut sesuai tradisi yang mengacu pada kalender Imlek bertepatan tanggal 14 dan 15 bulan ke-7, Selasa (01/09).
Pada kesempatan tersebut, Pengurus Kelenteng Bhakti Sejahtera Kp Hakok, Tjen Djun Hen alias Bong Kiw mengatakan perayaan sembahyang rebut kali ini cukup sederhana dan hanya dilaksanakan para penganut kelenteng saja, karena pandemi covid-19.
“Jadi mengingat pandemi covid-19 sembahyang rebut pada tahun 2020 ini agak berbeda dan tidak seperti pada tahun sebelumnya. Seperti panggung orgen musik dan rebutan sesajen di altar persembahyangan (Chiong Si Ku) tidak ada. Kali ini cukup sederhana dan seadanya saja,” katanya.
Selain itu, perjamuan arwah pada sesajen di altar sembahyang rebut tidak dipenuhi sesajen seperti pada tahun sebelumnya yang berjumlah banyak. Namun kali ini seadanya saja (sesajen sesuai tradisi) dan prosesi ritual diakhiri tidak sampai pukul 24:00 WIB, tetapi cukup pukul 22:00 sampai 22:30 WIB saja.
“Sehingga sembahyang rebut kali ini tidak mengundang banyak keramaian maupun para peserta yang akan melakukan rebutan sesajen di altar persembahyang rebut,” ujarnya.
Dikatakannya, seperti biasa sebagian masyarakat Tionghoa penganut Kelenteng bersama keluarga nya telah melaksanakan sembahyang leluhur di depan rumah nya masing-masing. Sembahyang tersebut sudah biasanya dilakukan pada pagi maupun siang hari saat perayaan hari besar umat Tionghoa. Kebiasaan tersebut sebagai wujud penghormatan keluarga kepada para leluhurnya di hari Chit Ngiat Pan.
“Semoga pandemi covid-19 ini dapat segera berlalu dan dengan cepat pula teratasi. Sehingga Kita semua dapat melaksanakan aktifitas seperti biasanya,” harapnya yang biasa disapa Bongkiw.
Sementara itu, Tokoh masyarakat Kp Hakok, Fu Nam Cen mengatakan sembahyang rebut ataupun ritual perjamuan ini khusus bagi arwah yang bergentangyangan. Dan ritual perjamuan tersebut berupa sesajian makanan, buah-buahan, minuman, baju dan uang terbuat dari kertas.
“Sembahyang rebut dapat dikatakan sebagai ritual perjamuan arwah. Dan ritual tersebut bermaksud supaya arwah yang bergentayangan tidak mengganggu kehidupan manusia,”katanya.
Dikatakannya, menurut kepercayaan adat Tionghoa menyakini bahwa di bulan ke-7 kalender Imlex disebut dengan bulan hantu. Dan pintu akhirat terbuka lebar sehingga arwah bergentayangan turun ke dunia manusia dengan keadaan telantar atau tidak terawat.
“Arwah yang terlantar tersebut karena tidak memiliki keturunan, seperti meninggal dengan tidak wajar ataupun meninggal dalam waktu yang sudah lama. Sehingga generasi lanjut tidak kenal dan tidak memberi persembahan,” jelasnya.
Dengan ritual sembahyang rebut tersebut, maka dapat di artikan bahwa manusia telah mencerminkan sikap saling membantu dan mengasihi kepada sesama makhluk ciptaan Tuhan apapun wujudnya. Sehingga Manusia dapat mengharapkan berkah dan keselamatan dalam kehidupannya di dunia.
“Setelah perjamuan di altar dirasa cukup dinikmati para arwah, maka tetua kelenteng meminta izin pada dewa untuk menyelesaikan prosesi ritual. Bertepatan pukul 24.00 WIB pengikut ritual bersama warga yang mengikuti siap-siap untuk rebutan bahan sajian di atas altar perjamuan setelah berbunyi nya aba-aba yang disebut Chiong Si Ku,” tuturnya.
Kononnya, kalau mengikuti rebutan di altar sembahyang rebut, peserta harus berusaha mendapatkan sesuatu. Karena jika tidak mendapatkan apapun juga dalam prosesi rebutan itu, maka dipercaya akan mendatangkan kemalangan bahkan kesialan pada peserta tersebut. Namun, jika mendapatkan dalam jumlah yang banyak, maka akan mendatangkan rezeki yang melimpah pula.
“Dengan rebutan secara serentak tersebut, arwah akan pergi ketakutan. Karena mereka (arwah) merasakan adanya kekuatan sifat agresif manusia yang sangat besar saat melakukan rebutan,” ujarnya yang biasa disapa Ko Acen. (Suyanto)